19 September 2011

PELUANG DAN ANCAMAN IMPLEMENTASI SKEMA REDD+ TERHADAP MASYARAKAT ADAT SULAWESI TENGAH


Oleh
Pengurus Wilayah AMAN Sulteng

Latar belakang

Devenisi kerja masyarakat adat hasil Kongres I AMAN Tahun 1999 di Hotel Indonesia Jakarta “Masyarakat Adat adalah : Komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum adat dan Lembaga adat yang mengelolah keberlangsungan kehidupan masyarakatnya”.
Di Indonesia ada 1163 komunitas Masyarakat Adat yang tercatat sebagai anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada Rapat Kerja AMAN tahun 2009 di Sukabumi dan di Sulawesi Tengah hingga tahun 2011 ini, ada 201 komunitas Masyarakat Adat yang masuk anggota AMAN Sulawesi Tengah yang tersebar di 11 Kabupaten Kota yang menempati daerah pegunungan dan pesisir laut dengan beragam adat istiadat dan pengetahuan lokal untuk mengelola sumber daya hutan yang ada di wilayah adat mereka.

Keberadaan Masyarakat Adat sebagaimana dijelaskan diatas, sebenarnya telah juga diakui oleh UUD 1945, Pasal 18b ayat (2) berbunyi  ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.
Namun demikian, hingga saat ini, Masyarakat Adat masih menjadi bagian dari masyarakat yang paling rentan terhadap berbagai dampak negatif pembangunan. Kondisi ini merupakan kelanjutan dari sejarah panjang diskriminasi dan marjinalisasi yang sudah berlangsung sebelum masa kolonial.

Olehnya itu, sebagaimana juga terjadi di seluruh dunia,  perjuangan Masyarakat Adat di Indonesia untuk memperbaiki kehidupan sendiri maupun dengan dukungan dari pihak-pihak lain yang peduli dengan kemajuan hak-hak azazi masyarakat adat terus digalakkan. Cukup banyak hasil positif dari perjuangan ini di berbagai daerah di Indonesia, tetapi masih banyak lagi daerah yang belum menunjukan perubahan kearah yang lebih baik. Demikian juga perubahan di tingkat nasional, beberapa kebijakan sektoral mulai berubah dengan mengakui dan menyediakan perlindungan hukum terhadap hak-hak Masyarakat Adat.

Masyarakat Adat& Pengelolaan Hutan di Sulawesi Tengah

Di Sulawesi Tengah, secara umum Masyarakat adat memandang hutan sangat erat hubungannya dengan kehidupan mereka :
1)   Secara sosial-ekologi, disamping sebagai penopang siklus air dan karbon dunia serta memiliki kemampuan mengatur iklim planet bumi, hutan merupakan ruang hidup bagi masyarakat adat;
2)  Secara sosial-ekonomi; keberlangsungan hidup Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah sangat bergantung dari Sumber Daya Hutan untuk dikelola secara arif dan berkelanjutan;
3)  Secara sosial-budaya, hutan sudah menjadi bagian dari kehidupan Masyarakat Adat, untuk digunakan sebagai tempat ritual adat;
4)       Secara ilmu dan teknologi, masyarakat adat memiliki kearifan lokal dalam mengelola Sumber Daya Hutan yang sarat dengan etika dan konservasi local yang berlaku dikomunitasnya.

Dalam praktek pengelolaan hutan, Masyarakat Adat mempunyai kearifan lokal, menerapkan sanksi adat dan kelembagaan lokal yang dipraktekkan dalam pengelolaan hutan secara arif dan berkelanjutan.
Di komunitas Masyarakat adat Sulawesi Tengah, praktek pengelolaan hutan yang diatur oleh kelembagaan adat masih terus dilakukan dan menjadi tatanan social masyarakat adat dan sangat dipatuhi oleh masyarakatnya maupun orang luar yang masuk dikomunitas Masyarakat Adat.

Contoh kongrit pengelolaan hutan yang dilakukan berdasarkan zonasi adat (tata kelola) berdasarkan kearifan local, sanksi adat yangdiatur oleh kelembagaan adat adalah di Masyarakat Adat Ngata Toro, Marena, Bada, Behoa, Katu,Taa wana untuk Masyarakat Adat yang tinggal di daerah pegunungan dan Masyarakat Adat yang tinggal diwilayah pesisir

Gagasan dan Rencana implementasi skema REDD+ di Sulawesi Tengah.

Pada tanggal 13 Oktober 2010, Sulawesi Tengah telah ditetapkan sebagai Provinsi demonstrasi untuk kegiatan UN-REDD, penetapan Sulawesi Tengah sebagai Provinsi Pilot Projetc UN-REDD dengan mempertimbangkan berbagai aspek, diantaranya: tingkat deforestasi, potensi kepadatan karbon, serta dukungan politis.
Dukungan UN-REDD mencakup peningkatan kapasitas bagi pemangku kepentingan termasuk masyarakat (adat/local) dalam pengelolaan hutan dalam konteks perencanaan dan pembangunan. Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk membangun dan menguji coba kesiapan (readiness) REDD+ pada tingkat Provinsi.
Dalam perkembangannya penyiapan skema REDD+ di Provinsi Sulawesi Tengah, UN-REDD telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) REDD+ Provinsi Sulawesi Tengah melalui SK Gubernur Sulawesi Tengah No 522/84/Dishutda – G.ST/2011 tanggal 18 Februari 2011 dengan tugas Pokja REDD+ Sulawesi Tengah  sbb:

1.         Kebijakan terkait implementasi REDD+ (Strategi REDD+ Provinsi)
a.    Memberikan masukan, pertimbangan teknis dan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah tentang impelementasikegiatan dan skema REDD+ di Provinsi Sulawesi Tengah;
b.  Memfasilitasi Koordinasi, Sinkronisasi dan Integrasi antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota (Sub Nasional dengan Nasional serta Internasional terkait implementasi kegiatan dan Skema REDD+ di Provinsi Sulawesi Tengah;
c.         Melakukan konsultasi dengan berbagai pihak untuk pengembangan Strategi Daerah;
d.         Menyiapkan Draft Strategi Daerah.
2.         Kelembagaan dan Metodologi
a.     Menyusun Kriteria, Indikator, dan Syarat-syarat Prakondisi Implementasi REDD+ di Provinsi Sulawesi Tengah;
b.     Memfasilitasi pelaksanaan pengkajian dibidang metodologi, pemantauan, evaluasi, mekanisme dan distribusi pembayaran yang komprehensif tentang pelaksanaan serta pengambilan keputusan dalam implementasi REDD+ di Provinsi Sulawesi Tengah;
c.    Mendorong dan membangun system komunikasi yang harmonis, dinamis dan transparan dengan Pokja REDD+ Nasional dan/atau kegiatan-kegiatan terkait REDD+ lainnya, dalam upaya peningkatan pengetahuan dan pemahaman, serta pencerahan terhadap dampak dan konsekuensi kegiatan deforestasi dan degradasi hutan.
3.         Aktivitas Percontohan
a.    Menyusun criteria, Indikator dan syarat-syarat lokasi untuk pelaksanaan kegiatan         percontohan dan skema REDD+ di Provinsi Sulawesi Tengah;
b.        Menjalankan fungsi memediasi dalam rangka meminimalkan konflik serta memberikan solusi permasalahan antar pemangku kepentingan yang terkait dalam implementasi REDD+ di Provinsi Sulawesi Tengah;
c.     Mengadakan konsultasi dan merekomendasikan lokasi yang berpotensi ditetapkan sebagai lokasi aktivitas percontohan (Demonstration Activity atau DA) REDD+ di Provinsi Sulawesi Tengah.
4.         Peningkatan kapasitas Provinsi dan Masyarakat untuk konsepsi Persetujuan atas dasar Informasi Awal tanpa Paksaan (Free Prior Informed Consent)
a.         Melaksanakan sosialisasi serta penyadartahuan tentang perubahan iklim dan skema REDD+ dalam penurunan emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan di Provinsi Sulawesi Tengah;
b.   Mendorong dan menciptakan semangat kolaboratif antar pemangku kepentingan dalam rangka kegiatan implementasi REDD+ di Provinsi Sulawesi Tengah;
c.  Melaksanakan upaya-upaya dalam rangka meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menurunkan dan mengendalikan emisi, deforestasi dan degradasi hutan di Provinsi Sulawesi Tengah;
d.  Merokomendasikan alur tata kerja FPIC dalam menciptakan kondisi prasyarat dan mengimplementsikan REDD+ di Provinsi Sulawesi Tenagh.
Pokja REDD+ Provinsi Sulawesi Tengah keanggotaannya multi pihak terdiri dari perwakilan Pemerintah, Akademisi, Asosiasi Pengusaha Hutan, NGO dan Masyarakat Adat/Lokal,
Pokja REDD+ Provinsi Sulawesi Tengah diketuai oleh Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah
Dalam perkembangannya Pokja ini suda melakukan kegiatan di Provinsi Sulawesi Tengah sesuai Tupoksi di masing-masing Sub Pokja.

Ancaman dan Peluang REDD+ Terhadap Masyarakat Adat di Sulteng

Bagi Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah skema REDD+ ini banyak menimbulkan pertanyaan, jangan-jangan skema REDD+ ini menimbulkan masalah baru bagi Masyarakat Adat (marginalisasi, diskriminsai) bila hak-hak Masyarakat Adat diabaikan oleh para pengelola project REDD+.

Sebagaimana dimengerti bahwa pengertian paling sederhana tentang REDD adalah ide untuk “mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan” yaitu ide yang berupaya menghentikan penebangan atau perusakan hutan dan karenanya mengurangi jumlah CO2 yang dilepas ke udara. Dengan REDD nilai hutan akan meningkat dan karenanya tidak dapat diharapkan bahwa pemerintah akan tertarik untuk memenuhi tuntutan masyarakat adat akan pengakuan hak-hak mereka atas  tanah dan wilayah mereka. Pembayaran kompensasi untuk konservasi hutan juga mungkin akan menghasilkan spekulasi lahan di wilayah hutan, dan kecuali program REED melakukan tindakan untuk menjamin dan mengakui hak tanah adat masyarakat adat, ada resiko serius bahwa akan ada lebih banyak hutan yang diambil alih pendatang dan perusahaan swasta (AIPP. 2010).

Di Sulawesi Tengah, gagasan atau rencana pelaksanaan program REDD+ sedang bergulir. Dalam dokumen Draf 0 Strategi Daerah REDD+ dijelaskan bahwa VISI REDD+ adalah mewujudkan pembangunan kehutanan yang partisipatif dan berkelanjutan yang berorientasi kepada mitigasi perubahan iklim serta peningkatan kesejahteraan masyarakat Sulawesi Tengah yang berkeadilan. Olehnya sasaran REDD+ di Sulawesi Tengah adalah menurunkan 5 persen emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan dari bagian komitmen nasional sebesar 14 persen. Untuk mencapai sasaran tersebut, salah satu strateginya adalah meningkatkan pemantapan dan pengawasan kawasan hutan. Dalam kerangka penerapan strategi tersebut maka penetapan suatu kawasan mempunyai arti yang sangat penting karena akan memberikan suatu kepastian hukum yang jelas mengenai status, letak, batas dan luas kawasan hutan sehingga berdampak terhadap unit manajemen pengelolaan hutan yang tidak efektif (Dok. Draf 0 STRATEGI DAERAH REDD+ Provinsi Sulawesi Tengah, 2011). 

Membaca strategi yang berkaitan dengan penetapan suatu kawasan yang dimaksud di atas, maka akan ada banyak kemungkinan yang terjadi terhadap masyarakat adat di Sulawesi Tengah, khususnya jika pelaksanaan program REDD+ diimplementasikan di wilayah-wilayah hutan dimana sebagian besar masyarakat adat bermukim. Kemungkinan-kemungkinan ancaman relokasi dan perampasan lahan, peningkatan konflik baik antara masyarakat dengan pihak swasta maupun antara masyarakat dan masyarakat, termasuk antar lembaga adat, juga berpotensi terjadi berkaitan dengan klaim atau perebutan atas satu wilayah dan konflik kewenangan antar berbagai lembaga yang ada di masyarakat.

Selain ancaman tersebut di atas, perlu juga dilihat peluang-peluang yang kemungkinan tersedia dalam gagasan atau rencana program REDD+ di Sulawesi Tengah. Di Anchorage, Alaska, tahun 2009, sebuah pertemuan tingkat tinggi global masyarakat adat menyatakan bahwa REDD+ bisa berjalan terus jika didasarkan pada penghargaan PENUH terhadap hak-hak masyarakat adat, termasuk terhadap peraturan-peraturan dalam Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat. Jika REDD+ dapat didasarkan pada pengakuan HAK-HAK masyarakat adat, REDD+ juga mungkin dapat membantu masyarakat adat melindungi cara hidupnya, misalnya; 

o     REDD digunakan untuk mempromosikan reformasi progresif perundang-undangan dan kebijakan tanah, hutan dan daerah sehingga mereka secara penuh menghormati hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas konsultasi yang layak secara budaya dan persetujuan tanpa paksaan (FPIC).
o               Penyelesaiaan klaim lahan dan wilayah yang utama dapat menjadi persyaratan atau prakondisi untuk setiap proyekl REDD.
o          REDD dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mendapatkan pendanaan, pengakuan dan dukungan untuk wilayah konservasi masyarakat atau hutan konservasi masyarakat, dengan pendanaan disediakan untuk mendukung praktek-praktek konservasi dan pengelolaan masyarakat adat.
o     Jika dirancang dengan baik, REDD dapat mengakui bahwa praktek-praktek pertanian tradisional dan praktek-praktek adat lainnya (menebang untuk kayu bakar, menebang untuk bahan bangunan, dll.) tidak akan merusak hutan. (AIPP, 2010).

Di Sulawesi Tengah, keberadaan Masyarakat Adat  juga memiliki klaim yang jelas atas wilayah adatnya dengan segala system pengetahuan dan kearifan local. Olehnya itu, jika REDD+ dapat didorong untuk mengakui dan menghormati keberdaan Hak-hak Masyarakat Adat, maka REDD+ dapat dioptimalkan untuk mendukung dan mencapai tujuan-tujuan dan cita-cita perjuangan Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah. Misalnya, masyarakat adat mempunyai peluang besar dalam skema REDD+ dengan menerapkan konsep Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim yang sudah dipraktekan di komunitasnya, yang dilakukan berdasarkan kearifan lokal dan lembaga adat yang mengatur system pranata social di Masyarakat Adat dan hal ini pantas dihargai oleh para pelaksana skema REDD+ di Sulawesi Tengah.

Dalam Draf 0 Strategi Daerah REDD+ di Sulawesi Tengah ditegaskan bahwa dalam menurunkan emisi GRK, keterlibatan masyarakat adat/local sangat penting dilakukan untuk menjamin azas keadilan. Pengakuan terhadap kearifan lokal serta kesepakatan yang dibangun akan mendapatkan hasil dari kepedulian mengelola hutan. Oleh karena itu pelibatan para pihak dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan strategi daerah dalam implementasi skema REDD+ akan dilakukan melalui antara lain: Penyelesaian masalah-maslaha tenurial seperti: (1) Status dan batas kawasan hutan yang tidak jelas, (2)masyarakat adat yang tidak memiliki hak kelola formal dalam pengelolaan hutan (3) konflik lahan yang tidak pernah tuntas. Strategi penyelasaian masalah tenurial pada dasarnya sesuai dengan mandate UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara harus mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hokum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik. Keberadaan masyarakat adat dan lokal lainnya beserta budaya historis, sumber daya maupun adat istiadat yang dianutnya adalah suatu fakta sejarah yang tidak dapat diabaikan dalam pelaksanaan pembangunan. (Dok. Draft 0  Strategi Daerah REDD+ Provinsi Sulawesi Tengah).

Untuk menegaskan peluang-peluang yang kemungkinan tersedia di atas, maka perlu dioptimalkan adanya jaminan keterlibatan para pihak termasuk masyarakat adat dan masyarakat local. Olehnya sangat penting diperjuangkan penegasan penerapan prinsip-prinsip FPIC/PADIATAPA (Persetujuan diawali atas dasar tanpa paksa) dalam implementasi program REDD+ di Sulawesi Tengah.

Posisi dan sikap MA atas implementasi REDD+ disulteng

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka Masyarakat Adat Sulawesi Tengah menegaskan posisi dan sikap sebagai berikut:
1)   Setiap kebijakan yang diberlakukan oleh Pemerintah dan Swasta yang menyangkut skema REDD+, “Harus” mengakui Hak-hak Masyarakat adat atas tanah, sumber daya hutan dan pengetahuan local Masyarakat adat yang ada diwilayah tersebut.
2)      Pelibatan penuh dan efektif Masyarakat Adat dalam seluruh proses perencanaan, implementasi dan monitoring skema REDD+ sesuai dengan prinsip-prinsip dan hak Masyarakat Adat yang tertuang dalam FPIC (Free, Prior and Informed Consent).
3)     Sosialisasi, penyebaran dan penyampaian informasi kepada komunitas-komunitas Masyarakat Adat mengenai setiap project REDD+ yang akan dilakukan di Sulawesi Tengah, harus dilakukan secara transparan dan merata. Hal ini untuk menjamin keterlibatan penuh dan hak untuk mengambil keputusan di tingkat komunitas.
4)    Mandat yang ditetapkan dalam kebijakan United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sebagai dasar Pemerintah dalam melakukan identivikasi dan inventarisasi pengetahuan-pengetahuan tradisional Masyarakat Adat dalam pengelolaan hutan, sebagai modal dasar pengelolaan hutan di Sulawesi Tengah karena sebelum ada skema REDD+, Masyarakat Adat suda lama memberlakukan konsep local dalam pelestarian hutan.
5)   Pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah mendukung upaya-upaya identifikasi dan inventarisasi wilayah adat, yang dilakukan oleh komunitas-komunitas Masyarakat Adat melalui pemetaan-pemetaan partisipatif dan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)
Demikian penegasan posisi dan sikap Masyarakat Adat Sulawesi Tengah ini, buat untuk menjadi bahan perhatian bagi Pemerintah dan Swasta yang akan mengimplementasikan skema REDD+ di wilayah Sulawesi Tengah.


No comments:

Post a Comment