15 December 2010

Dari Kearifan Tradisional Menuju Keserakahan Modern

Berita OPINI Koran Radar Sulteng tgl 15 Desember 2010 
Oleh : DR SUPRIN NA’A, SH. MA
(Dosen fakultas Hukum Universitas Tadulako dan ketua pusat studi hukum & Legislasi) 

Membahas masalah kearifan tradisi adalah bagaimana kita mampu mengadaptasi, merefleksi dan merempati dengan keberadaan hukum-hukum tradisional, perilaku social, adat istiadat masyarakat tradisional yang masih kuat memelihara adat istiadatnya, baik secara hukum maupun dalam proses atau interaksi sosialnya. Masyarakat ini dalam pemahaman ilmiah tersebut gemeinschap, yakni suatu masyarakat yang masih terikat pada kuatnya keberatan dalam komunitasnya, baik bersifat torotorial atau sebagai tempat (wilayah) kelahirannya mampu bersifat genealogis yang di dasarkan pada pertalian darah atau keturunan. Kedua jenis keberatan tradisional ini lah yang di kenal secarah teoritik sebagai struktur persekutuan hukum adat .        

Terkadang kearifan tradisional suatu masyarakat harus tergusur, baik melalui benturan dengan peradaban modern yang sangat kuat dan mempunyai daya dobrak yang dasyat, efektif, sistematis dan juga masif, juga dilakukan melalui pemaksaan atau otorisasi hukum positif ataupun formulisasi norma-noram hukum modern berdasarkan keinginan  para Negara atau para pembentuk peraturan perundang-undangan. Benturan terbeasr dari kekuatan hukum secara mutakhir adalah pemaksaan norma-norma peraturan daerah yang dibuat tidak aspiratif, tampa memperhatikan keberadaan dan hakikat kearifan tradisional masyarakat local. Perda cenderung hanya menjalankan peraturan perundanga-undangan diatasnya tanpa memperhatikan kondisi faktual masyarakat lokal yang seyogyanya lindungi oleh hukum (baca:perda.)
                                                                                                         
Kearifan tradisional telah menjadi momok pembangunan secara umum, dianggap sebagai penghambat kemajuan atau modernisasi menurut keinginan Negara, pemerintah. Identifikasi sebuah kemajuan dalam tartan formal adalah suatau kondisi yang modern suatu kondiai yang gaul, yang serba teknologi, mesin-mesin canggih segalah tetek-bengeknya. Orientasi berpikir yang keliru serperti ini sepantasnya diubah dengan cara pandang pluralisme hukum (the legal pluralism) yang mengakui dan melindungi hukum lokal dan sekaligus menghormati kearifan tradisionalnya yang sesungguhnya sangat bersahaja, tidak seraka serta sangat akrab linkungan. Sebagaimana yang tergambar dalam “Primitive Runaway”   

                                                  
KEARIFAN TRADISIONAL PRODUK HUKUM ADAT 

Adat merupakan pencerminan kepribadian suatu komunitas masyarakat. Lebih-lebih makro lagi sebagai kepribadian suatu bangsa dan sebagai penjelma jiwa bangsa (volkgeist). Saya berpendapat bahwa grundnorn (norma dasar) dalam system hukum & perundang-undangan (legislation and legal system) di Indonesia adalah adat atau hukum adat. Hukum adat harus menjadi sumber dari segala sumber hukum,termaksud sumber hukum dari semua peraturan di tingkat daerah (perda,pergub,perbub,perwali,termaksud perdes dan perkades).

Bukankah dalam pasal 5 UUPA telah ditegaskan bahwa hukum agrarian yang berlaku atas bumi,air dan ruang angkasa adalah hukum adat? Secara konstitusional juga diakui dalam pasal 18 B ayat (2) UUD 1945: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI …” . kemudian dipertegas dalam pasal 281 ayat (3) UUD 1945: identitas budaya dan hak masyarakat tradisional di hormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Menunjukan bahwa pengakuan atas masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya bukan hanya sekedar pemberian “Negara”,melainkan pula sudah menjadi bagian dari HAM (human right).

Dalam united nation declaration on the rights of indigenous peoples pada artikel 1: masyarakat adat berhak untuk menikmati secara penuh,kolektif,atau individual,keseluruhan Hak asasi manusia dan kebebasan fundamental…; kemudian artikel 20: masyarakat adat berhak mempertahankan dan mengembangkan system atau lembaga politik,ekonomi dan social mereka, agar merasa aman dalam memanfaatkan alat-alat mereka sendiri untuk pemenuhan kebutuhan sendiri dan pengembangan,dan untuk melibatkan diri secara bebas dalam kegiatan tradisionalnya dan ekonomi mereka. Jadi pengakuan hukum internasional juga sudah sangat jelas secara normative tentang perlindungan dan pengakuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya dan segala kearifannya.

Hukum adat adalah hukum yang tidak dibuat oleh sebuah otoritas Negara beserta alat-alat kekuasaanya secara formal (unstatutory law), sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat, diakui, dihormati dan ditaati secara efektif oleh masyarakat sehingga dapat membentuk karakter kebersahajaan masyarakat tradisionil. Ini menunjukan bahwa kearifan tradisionil merupakan post factum dari hukum adat. Hukum adat memiliki corak sebagai berikut: pertama, menpunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat. Artinya manusia menurut hukum adat merupakan mahluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan ini meliputi seluruh lapangan hukum adat.

Kedua, mempunyai corak relogio-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia seperti, balaa’,malapetaka, masolora (kaili), muliwu(saluan), kampunangan, dll. Ketiga hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnyan perhubungan-perhubungan hidup yang konflik keempat, hukum adat mempunyai sifat fisual, artinya perhubungan hukum dianggap terjadi apabila dititapkan dengan suatu ikatan yang adapat dilihat, misalnya “pemberian” sebagai penegasan (bevestiging) suatu prtunangan.                                                                       

Corak ataupun subtansi hukum adat inilah yang kemudian secara turun temurun dipatuhi masyarakat lokal yang dikenal dengan istilah indigenous people (masyarakat pribumi atau masyarakat asli) yang tercermin pada kebersahajaan kearifannya. Kearifan masyarakat adat yang disandarkan pada hukum adat ini harus menjadi “benteng” yang tangguh dalam menghadapi keserakahan modern. Keserakahan modern beserta segalah “penyakit” ikutannya akan dapat dihindari apabila kearifan tradisional diakui, dilindungi dan diperdayakan.

PERSPEKTIF SULAWESI TENGAH 

Komunitas masyarakat adat diwilayah Sulawesi tengah secara riil masih ada, seperti masyarakat tau ta’a dikabupaten Tojo una-una, kabupaten banggai dan kabupaten worowali melalui kekerabatan herois dibawah pimpinan seseorang telenga’. Begitu juga masyarakat kulawi, sigi dan pipikoro sub etnik yang menggunakan bahasa ‘Ija, Moma dan oma dikabupaten sigi juga masih kuat intensitas norma hukum adat.tercatat dalam sejarah seperti yang tertulis dalam “van Poso naar Parigi, Sigi en Lindoe” hasil investigasi dan renungan N. Adrian dan Albert C. kruyt (1898) menyebutkan, bahwa orang-orang sigi itu ramah tamah dan bijaksana (scherpzinning), terutama ketika berada di Bora (Ibukota kerajaan sigi). Orang-orang sigi belum tersentuh oleh tabiat pedagang. Meskipun peradaban yang lebih maju lainnya sudah ada, namun mereka masih kuat memeganng teguh adat istiadat mereka,seperti “Baliya” dalam rangka upacara penyembuhan orang sakit (wurake).            

Masyakat adat di Sulawesi membutuhkan pengakuan perlindungan dalam bentuk peraturan daerah. Akan tetapi bukan berarti stiap perda yang di Sulawesi tengah yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan masyarajat adat itu mengatur secara rinci semua norma-norma hukum adat. Perda dimaksud hanya bermateri muatan (hetonderwerp) pengakuan dan perlindungannya saja, khususnya meregulasi hubungan masayarakat adat dengan hutan, air dan lingkungan hidup, dengan tetap memoerhatikan norma-norma yang didelegasikan (delegatie van wetgevings). Sedangkan yang bersangkut paut dengan norma-norma teknis diserahkan pada masyarakat hukum adat itu sendiri yang mengapresiasinya melalui lembaga adat. Misalnya pelanggaran-pelanggaran norma adat yang dapat di Givu, dll. Semuanya harus di kembalikan pada konsepsiemic, yaitu mereka sendiri mempersiapkan hak dan tanggung jawab menurut hukum adat masing-masing komunitas.                                                       

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 perihal kehutanan ditegaskan bahwa masyarakat hukukm adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya berhak: pertama, melakukan pemugutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup seharai-hari masyarakat adat yang bersangkutan. Kedua, melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertetangan dengan undang-undang. Ketiga, mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejatraannya.

Dari ketiga hak tersebut, harus di kukuhkan melalui pembentukan perda tentang hutan adat. Yang ingin di tegaskan di sini adalah  betapa perda tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di wilayah Sulawesi tengah. Apabila tidak ada, maka hak-hak (akses) masyarakat tradisionil atas sumber daya alam menjadi hilang, padahal SDA secara subtansial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat adat yang notabene tradisional. Hal-hal tersebut merupakan refleksi dari gulatan kearifan tradisional dengan keserakahan modern, yang selama ini masih dalam episode termagirnalkan dan masih menjadi fragment kehidupan tradisional masyarakat Indonesia yang pada umumnya tidak terlihat, namun dapat di rasakan. Kehidupan masyarakat modern yang dipe-back up oleh hukum modern yang di dasari oleh pemikiran-pemikiran rasional, logis dan sekaligus dapat di pelintir merupakan benteng yany kokoh dalam melegalisir dan memberikan legitimasi atas keserakahan-keserakahan berikutnya yang lebih mutakhir. Malei ra mabubu maputi buku ratinde kana kupomate ngataku.(*)

9 December 2010

Bupati Sigi, siap sahkan PERDA tentang masyarakat adat

Perjuangan masyarakat adat di Sulawesi Tengah untuk mendapatkan perlindungan hak-haknya mendapatkan titik pencerahan. Pemerintah Daerah Kabupaten Sigi saat ini berencana mengeluarkan sebuah Peraturan Daerah (PERDA) tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Rencana pembuatan PERDA ini, digulirkan dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Arah kebijakan pemerintah Kab. Sigi Terhadap perlindungan atas hak-hak masyarakat adat Sigi” yang diadakan di Ngata Toro, Kecamatan Kulawi pada 3 Desember 2010 yang lalu. Pemerintah Kabupaten Sigi mengadakan FGD ini untuk mendorong adanya pengakuan dan penghormatan terhadap adat dan budaya yang ada di masyarakat adat.

Bupati Sigi, Ir. Aswani Randalembah (tengah), memberikan sambutan dalam FGD


Hadir sebagai narasumber yaitu; Ir. Aswadin Randalembah (Bupati Kabupaten Sigi), Gesang Yuswono SE (DPRD), Agus Lamakarete SP, MES (Sekretaris BAPPEDA), dan Rizal Mahmud (Ketua PW AMAN Sulteng). Peserta dalam FGD ini terdiri dari kalangan Akademisi, Pemerintah (Kecamatan dan Desa), Bappeda dan Dewan Adat.

Bupati Kabupaten Sigi, mengungkapkan bahwa pengakuan dan penghormatan terhadap adat dan budaya adalah cita-cita luhur PEMDA. Hal senada, disampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Pemerintah menginginkan output dari FGD kali ini adalah sebuah PERDA tentang masyarakat adat.

Rizal Mahmud, Ketua Pengurus Wilayah AMAN Sulawesi Tengah, menyarankan agar PERDA yang akan dibuat hendaknya mengatur tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat secara menyeluruh. Tidak sebatas perlindungan terhadap budaya semata (tarian, pakaian adat) tapi juga menyangkut hak atas wilayah, kearifan lokal serta kelembagaan adat.

Memperkuat pernyataan diatas, DR Supri Na'a, SH. MH, Akademisi dari Universitas Tadulako, mengatakan bahwa Undang-undang Dasar (UUD) 45 sebagai landasan hukum dalam penegakan hak-hak masyarakat adat. Pasal 18B dan 28I sudah sangat kuat sebagai dasar pengesahan PERDA, bahkan Undang-undang tentang pengakuan dan perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat.

Mengacu pada definisi masyarakat adat yang di usung AMAN, ada empat (4) aspek yang harus masuk dalam PERDA yaitu; Sejarah (Asal-usul), Wilayah, Hukum dan Kelembagaan Adat. Rizal Mahmud juga menyampaikan pentingnya riset (iventarisasi dan dokumentasi) tentang masyarakat adat yang ada di 15 kecamatan di Kabupaten Sigi. Hal ini, untuk mendukung pembahasan PERDA supaya tidak “bias” terkait dengan definisi masyarakat adat. Baik secara suku, agama, ras dan kesetaraan gender.

Peserta FGD merespon positif atas rencana ini. Sebagai tindak lanjut, akan diadakan lokakarya pada tanggal 13 Desember 2010, membahas rancangan dan kegiatan untuk meloloskan PERDA ini.

2 December 2010

Sejarah Komunitas Adat Bada

Inilah sejarah adanya komunitas adat di Bada!!!
Pada mulanya di bada hanya ada 3 orang kakak beradik,yang pertama tinggal di bulili, yang ke dua di Gintu dan yang ke tiga tinggal di Runde.
ke tiga kakak beradik ini mulanya dari sepe silanca.dan di bada itu juga ada pendatang dari Besoa tapi karena mereka itu pintar dan sangat jenius dalam pengelolaan hutan maka mereka di usir ke bulu pointoa.
tapi karena mereka tidak habis akal,mereka menyuruh anak pertama mereka untuk pergi ke Badangkaia sebagai alat agar supaya masyrakat yang ada di Badangkaia kasian kepada anak ini.dan di berikanlah mereka tanah untuk mereka olah sendiri.

To be continue,,,