19 September 2011

PELUANG DAN ANCAMAN IMPLEMENTASI SKEMA REDD+ TERHADAP MASYARAKAT ADAT SULAWESI TENGAH


Oleh
Pengurus Wilayah AMAN Sulteng

Latar belakang

Devenisi kerja masyarakat adat hasil Kongres I AMAN Tahun 1999 di Hotel Indonesia Jakarta “Masyarakat Adat adalah : Komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum adat dan Lembaga adat yang mengelolah keberlangsungan kehidupan masyarakatnya”.
Di Indonesia ada 1163 komunitas Masyarakat Adat yang tercatat sebagai anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada Rapat Kerja AMAN tahun 2009 di Sukabumi dan di Sulawesi Tengah hingga tahun 2011 ini, ada 201 komunitas Masyarakat Adat yang masuk anggota AMAN Sulawesi Tengah yang tersebar di 11 Kabupaten Kota yang menempati daerah pegunungan dan pesisir laut dengan beragam adat istiadat dan pengetahuan lokal untuk mengelola sumber daya hutan yang ada di wilayah adat mereka.

Keberadaan Masyarakat Adat sebagaimana dijelaskan diatas, sebenarnya telah juga diakui oleh UUD 1945, Pasal 18b ayat (2) berbunyi  ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.
Namun demikian, hingga saat ini, Masyarakat Adat masih menjadi bagian dari masyarakat yang paling rentan terhadap berbagai dampak negatif pembangunan. Kondisi ini merupakan kelanjutan dari sejarah panjang diskriminasi dan marjinalisasi yang sudah berlangsung sebelum masa kolonial.

Olehnya itu, sebagaimana juga terjadi di seluruh dunia,  perjuangan Masyarakat Adat di Indonesia untuk memperbaiki kehidupan sendiri maupun dengan dukungan dari pihak-pihak lain yang peduli dengan kemajuan hak-hak azazi masyarakat adat terus digalakkan. Cukup banyak hasil positif dari perjuangan ini di berbagai daerah di Indonesia, tetapi masih banyak lagi daerah yang belum menunjukan perubahan kearah yang lebih baik. Demikian juga perubahan di tingkat nasional, beberapa kebijakan sektoral mulai berubah dengan mengakui dan menyediakan perlindungan hukum terhadap hak-hak Masyarakat Adat.

Masyarakat Adat& Pengelolaan Hutan di Sulawesi Tengah

Di Sulawesi Tengah, secara umum Masyarakat adat memandang hutan sangat erat hubungannya dengan kehidupan mereka :
1)   Secara sosial-ekologi, disamping sebagai penopang siklus air dan karbon dunia serta memiliki kemampuan mengatur iklim planet bumi, hutan merupakan ruang hidup bagi masyarakat adat;
2)  Secara sosial-ekonomi; keberlangsungan hidup Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah sangat bergantung dari Sumber Daya Hutan untuk dikelola secara arif dan berkelanjutan;
3)  Secara sosial-budaya, hutan sudah menjadi bagian dari kehidupan Masyarakat Adat, untuk digunakan sebagai tempat ritual adat;
4)       Secara ilmu dan teknologi, masyarakat adat memiliki kearifan lokal dalam mengelola Sumber Daya Hutan yang sarat dengan etika dan konservasi local yang berlaku dikomunitasnya.

Dalam praktek pengelolaan hutan, Masyarakat Adat mempunyai kearifan lokal, menerapkan sanksi adat dan kelembagaan lokal yang dipraktekkan dalam pengelolaan hutan secara arif dan berkelanjutan.
Di komunitas Masyarakat adat Sulawesi Tengah, praktek pengelolaan hutan yang diatur oleh kelembagaan adat masih terus dilakukan dan menjadi tatanan social masyarakat adat dan sangat dipatuhi oleh masyarakatnya maupun orang luar yang masuk dikomunitas Masyarakat Adat.

Contoh kongrit pengelolaan hutan yang dilakukan berdasarkan zonasi adat (tata kelola) berdasarkan kearifan local, sanksi adat yangdiatur oleh kelembagaan adat adalah di Masyarakat Adat Ngata Toro, Marena, Bada, Behoa, Katu,Taa wana untuk Masyarakat Adat yang tinggal di daerah pegunungan dan Masyarakat Adat yang tinggal diwilayah pesisir

Gagasan dan Rencana implementasi skema REDD+ di Sulawesi Tengah.

Pada tanggal 13 Oktober 2010, Sulawesi Tengah telah ditetapkan sebagai Provinsi demonstrasi untuk kegiatan UN-REDD, penetapan Sulawesi Tengah sebagai Provinsi Pilot Projetc UN-REDD dengan mempertimbangkan berbagai aspek, diantaranya: tingkat deforestasi, potensi kepadatan karbon, serta dukungan politis.
Dukungan UN-REDD mencakup peningkatan kapasitas bagi pemangku kepentingan termasuk masyarakat (adat/local) dalam pengelolaan hutan dalam konteks perencanaan dan pembangunan. Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk membangun dan menguji coba kesiapan (readiness) REDD+ pada tingkat Provinsi.
Dalam perkembangannya penyiapan skema REDD+ di Provinsi Sulawesi Tengah, UN-REDD telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) REDD+ Provinsi Sulawesi Tengah melalui SK Gubernur Sulawesi Tengah No 522/84/Dishutda – G.ST/2011 tanggal 18 Februari 2011 dengan tugas Pokja REDD+ Sulawesi Tengah  sbb:

1.         Kebijakan terkait implementasi REDD+ (Strategi REDD+ Provinsi)
a.    Memberikan masukan, pertimbangan teknis dan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah tentang impelementasikegiatan dan skema REDD+ di Provinsi Sulawesi Tengah;
b.  Memfasilitasi Koordinasi, Sinkronisasi dan Integrasi antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota (Sub Nasional dengan Nasional serta Internasional terkait implementasi kegiatan dan Skema REDD+ di Provinsi Sulawesi Tengah;
c.         Melakukan konsultasi dengan berbagai pihak untuk pengembangan Strategi Daerah;
d.         Menyiapkan Draft Strategi Daerah.
2.         Kelembagaan dan Metodologi
a.     Menyusun Kriteria, Indikator, dan Syarat-syarat Prakondisi Implementasi REDD+ di Provinsi Sulawesi Tengah;
b.     Memfasilitasi pelaksanaan pengkajian dibidang metodologi, pemantauan, evaluasi, mekanisme dan distribusi pembayaran yang komprehensif tentang pelaksanaan serta pengambilan keputusan dalam implementasi REDD+ di Provinsi Sulawesi Tengah;
c.    Mendorong dan membangun system komunikasi yang harmonis, dinamis dan transparan dengan Pokja REDD+ Nasional dan/atau kegiatan-kegiatan terkait REDD+ lainnya, dalam upaya peningkatan pengetahuan dan pemahaman, serta pencerahan terhadap dampak dan konsekuensi kegiatan deforestasi dan degradasi hutan.
3.         Aktivitas Percontohan
a.    Menyusun criteria, Indikator dan syarat-syarat lokasi untuk pelaksanaan kegiatan         percontohan dan skema REDD+ di Provinsi Sulawesi Tengah;
b.        Menjalankan fungsi memediasi dalam rangka meminimalkan konflik serta memberikan solusi permasalahan antar pemangku kepentingan yang terkait dalam implementasi REDD+ di Provinsi Sulawesi Tengah;
c.     Mengadakan konsultasi dan merekomendasikan lokasi yang berpotensi ditetapkan sebagai lokasi aktivitas percontohan (Demonstration Activity atau DA) REDD+ di Provinsi Sulawesi Tengah.
4.         Peningkatan kapasitas Provinsi dan Masyarakat untuk konsepsi Persetujuan atas dasar Informasi Awal tanpa Paksaan (Free Prior Informed Consent)
a.         Melaksanakan sosialisasi serta penyadartahuan tentang perubahan iklim dan skema REDD+ dalam penurunan emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan di Provinsi Sulawesi Tengah;
b.   Mendorong dan menciptakan semangat kolaboratif antar pemangku kepentingan dalam rangka kegiatan implementasi REDD+ di Provinsi Sulawesi Tengah;
c.  Melaksanakan upaya-upaya dalam rangka meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menurunkan dan mengendalikan emisi, deforestasi dan degradasi hutan di Provinsi Sulawesi Tengah;
d.  Merokomendasikan alur tata kerja FPIC dalam menciptakan kondisi prasyarat dan mengimplementsikan REDD+ di Provinsi Sulawesi Tenagh.
Pokja REDD+ Provinsi Sulawesi Tengah keanggotaannya multi pihak terdiri dari perwakilan Pemerintah, Akademisi, Asosiasi Pengusaha Hutan, NGO dan Masyarakat Adat/Lokal,
Pokja REDD+ Provinsi Sulawesi Tengah diketuai oleh Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah
Dalam perkembangannya Pokja ini suda melakukan kegiatan di Provinsi Sulawesi Tengah sesuai Tupoksi di masing-masing Sub Pokja.

Ancaman dan Peluang REDD+ Terhadap Masyarakat Adat di Sulteng

Bagi Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah skema REDD+ ini banyak menimbulkan pertanyaan, jangan-jangan skema REDD+ ini menimbulkan masalah baru bagi Masyarakat Adat (marginalisasi, diskriminsai) bila hak-hak Masyarakat Adat diabaikan oleh para pengelola project REDD+.

Sebagaimana dimengerti bahwa pengertian paling sederhana tentang REDD adalah ide untuk “mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan” yaitu ide yang berupaya menghentikan penebangan atau perusakan hutan dan karenanya mengurangi jumlah CO2 yang dilepas ke udara. Dengan REDD nilai hutan akan meningkat dan karenanya tidak dapat diharapkan bahwa pemerintah akan tertarik untuk memenuhi tuntutan masyarakat adat akan pengakuan hak-hak mereka atas  tanah dan wilayah mereka. Pembayaran kompensasi untuk konservasi hutan juga mungkin akan menghasilkan spekulasi lahan di wilayah hutan, dan kecuali program REED melakukan tindakan untuk menjamin dan mengakui hak tanah adat masyarakat adat, ada resiko serius bahwa akan ada lebih banyak hutan yang diambil alih pendatang dan perusahaan swasta (AIPP. 2010).

Di Sulawesi Tengah, gagasan atau rencana pelaksanaan program REDD+ sedang bergulir. Dalam dokumen Draf 0 Strategi Daerah REDD+ dijelaskan bahwa VISI REDD+ adalah mewujudkan pembangunan kehutanan yang partisipatif dan berkelanjutan yang berorientasi kepada mitigasi perubahan iklim serta peningkatan kesejahteraan masyarakat Sulawesi Tengah yang berkeadilan. Olehnya sasaran REDD+ di Sulawesi Tengah adalah menurunkan 5 persen emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan dari bagian komitmen nasional sebesar 14 persen. Untuk mencapai sasaran tersebut, salah satu strateginya adalah meningkatkan pemantapan dan pengawasan kawasan hutan. Dalam kerangka penerapan strategi tersebut maka penetapan suatu kawasan mempunyai arti yang sangat penting karena akan memberikan suatu kepastian hukum yang jelas mengenai status, letak, batas dan luas kawasan hutan sehingga berdampak terhadap unit manajemen pengelolaan hutan yang tidak efektif (Dok. Draf 0 STRATEGI DAERAH REDD+ Provinsi Sulawesi Tengah, 2011). 

Membaca strategi yang berkaitan dengan penetapan suatu kawasan yang dimaksud di atas, maka akan ada banyak kemungkinan yang terjadi terhadap masyarakat adat di Sulawesi Tengah, khususnya jika pelaksanaan program REDD+ diimplementasikan di wilayah-wilayah hutan dimana sebagian besar masyarakat adat bermukim. Kemungkinan-kemungkinan ancaman relokasi dan perampasan lahan, peningkatan konflik baik antara masyarakat dengan pihak swasta maupun antara masyarakat dan masyarakat, termasuk antar lembaga adat, juga berpotensi terjadi berkaitan dengan klaim atau perebutan atas satu wilayah dan konflik kewenangan antar berbagai lembaga yang ada di masyarakat.

Selain ancaman tersebut di atas, perlu juga dilihat peluang-peluang yang kemungkinan tersedia dalam gagasan atau rencana program REDD+ di Sulawesi Tengah. Di Anchorage, Alaska, tahun 2009, sebuah pertemuan tingkat tinggi global masyarakat adat menyatakan bahwa REDD+ bisa berjalan terus jika didasarkan pada penghargaan PENUH terhadap hak-hak masyarakat adat, termasuk terhadap peraturan-peraturan dalam Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat. Jika REDD+ dapat didasarkan pada pengakuan HAK-HAK masyarakat adat, REDD+ juga mungkin dapat membantu masyarakat adat melindungi cara hidupnya, misalnya; 

o     REDD digunakan untuk mempromosikan reformasi progresif perundang-undangan dan kebijakan tanah, hutan dan daerah sehingga mereka secara penuh menghormati hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas konsultasi yang layak secara budaya dan persetujuan tanpa paksaan (FPIC).
o               Penyelesaiaan klaim lahan dan wilayah yang utama dapat menjadi persyaratan atau prakondisi untuk setiap proyekl REDD.
o          REDD dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mendapatkan pendanaan, pengakuan dan dukungan untuk wilayah konservasi masyarakat atau hutan konservasi masyarakat, dengan pendanaan disediakan untuk mendukung praktek-praktek konservasi dan pengelolaan masyarakat adat.
o     Jika dirancang dengan baik, REDD dapat mengakui bahwa praktek-praktek pertanian tradisional dan praktek-praktek adat lainnya (menebang untuk kayu bakar, menebang untuk bahan bangunan, dll.) tidak akan merusak hutan. (AIPP, 2010).

Di Sulawesi Tengah, keberadaan Masyarakat Adat  juga memiliki klaim yang jelas atas wilayah adatnya dengan segala system pengetahuan dan kearifan local. Olehnya itu, jika REDD+ dapat didorong untuk mengakui dan menghormati keberdaan Hak-hak Masyarakat Adat, maka REDD+ dapat dioptimalkan untuk mendukung dan mencapai tujuan-tujuan dan cita-cita perjuangan Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah. Misalnya, masyarakat adat mempunyai peluang besar dalam skema REDD+ dengan menerapkan konsep Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim yang sudah dipraktekan di komunitasnya, yang dilakukan berdasarkan kearifan lokal dan lembaga adat yang mengatur system pranata social di Masyarakat Adat dan hal ini pantas dihargai oleh para pelaksana skema REDD+ di Sulawesi Tengah.

Dalam Draf 0 Strategi Daerah REDD+ di Sulawesi Tengah ditegaskan bahwa dalam menurunkan emisi GRK, keterlibatan masyarakat adat/local sangat penting dilakukan untuk menjamin azas keadilan. Pengakuan terhadap kearifan lokal serta kesepakatan yang dibangun akan mendapatkan hasil dari kepedulian mengelola hutan. Oleh karena itu pelibatan para pihak dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan strategi daerah dalam implementasi skema REDD+ akan dilakukan melalui antara lain: Penyelesaian masalah-maslaha tenurial seperti: (1) Status dan batas kawasan hutan yang tidak jelas, (2)masyarakat adat yang tidak memiliki hak kelola formal dalam pengelolaan hutan (3) konflik lahan yang tidak pernah tuntas. Strategi penyelasaian masalah tenurial pada dasarnya sesuai dengan mandate UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara harus mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hokum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik. Keberadaan masyarakat adat dan lokal lainnya beserta budaya historis, sumber daya maupun adat istiadat yang dianutnya adalah suatu fakta sejarah yang tidak dapat diabaikan dalam pelaksanaan pembangunan. (Dok. Draft 0  Strategi Daerah REDD+ Provinsi Sulawesi Tengah).

Untuk menegaskan peluang-peluang yang kemungkinan tersedia di atas, maka perlu dioptimalkan adanya jaminan keterlibatan para pihak termasuk masyarakat adat dan masyarakat local. Olehnya sangat penting diperjuangkan penegasan penerapan prinsip-prinsip FPIC/PADIATAPA (Persetujuan diawali atas dasar tanpa paksa) dalam implementasi program REDD+ di Sulawesi Tengah.

Posisi dan sikap MA atas implementasi REDD+ disulteng

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka Masyarakat Adat Sulawesi Tengah menegaskan posisi dan sikap sebagai berikut:
1)   Setiap kebijakan yang diberlakukan oleh Pemerintah dan Swasta yang menyangkut skema REDD+, “Harus” mengakui Hak-hak Masyarakat adat atas tanah, sumber daya hutan dan pengetahuan local Masyarakat adat yang ada diwilayah tersebut.
2)      Pelibatan penuh dan efektif Masyarakat Adat dalam seluruh proses perencanaan, implementasi dan monitoring skema REDD+ sesuai dengan prinsip-prinsip dan hak Masyarakat Adat yang tertuang dalam FPIC (Free, Prior and Informed Consent).
3)     Sosialisasi, penyebaran dan penyampaian informasi kepada komunitas-komunitas Masyarakat Adat mengenai setiap project REDD+ yang akan dilakukan di Sulawesi Tengah, harus dilakukan secara transparan dan merata. Hal ini untuk menjamin keterlibatan penuh dan hak untuk mengambil keputusan di tingkat komunitas.
4)    Mandat yang ditetapkan dalam kebijakan United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sebagai dasar Pemerintah dalam melakukan identivikasi dan inventarisasi pengetahuan-pengetahuan tradisional Masyarakat Adat dalam pengelolaan hutan, sebagai modal dasar pengelolaan hutan di Sulawesi Tengah karena sebelum ada skema REDD+, Masyarakat Adat suda lama memberlakukan konsep local dalam pelestarian hutan.
5)   Pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah mendukung upaya-upaya identifikasi dan inventarisasi wilayah adat, yang dilakukan oleh komunitas-komunitas Masyarakat Adat melalui pemetaan-pemetaan partisipatif dan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)
Demikian penegasan posisi dan sikap Masyarakat Adat Sulawesi Tengah ini, buat untuk menjadi bahan perhatian bagi Pemerintah dan Swasta yang akan mengimplementasikan skema REDD+ di wilayah Sulawesi Tengah.


27 January 2011

Workshop REDD+ dan FPIC serta menentukan perwakilan Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal dalam Pokja REDD Propinsi Sulawesi Tengah

Kegiatan Workshop yang dilaksanakan pada tanggal 19 Januari 2011 di Gedung BPTP Biromaru Kabupaten Sigi, yang dihadiri oleh Masyarakat adat dan Masyarakat lokal yang berasal dari 10 Kabupaten dan 1 Kota yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah, lebih mendorong Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan (NGO/Ormas) untuk secepatnya melakukan Sosialisasi tentang skema REDD+ dimasyarakat, mengingat Provinsi Sulawesi Tengah menjadi pilot projeck UN REDD yang nantinya nakan diberlakukan pada akhir tahun 2011.

Sosialisasi bertujuan, agar masyarakat tidak salah tafsir dan menimbulkan masalah dalam pelaksanaan projeck ini, kesalapahaman yang kita hindari adalah:

  1. Masyarakat menganggap skema REDD+ yang diberlakukan diwilayah adat mereka sama dengan konsep Konservasi yang diberlakukan oleh pihak Taman Nasional.
  2. Karena projeck REDD+ dibiayai oleh UN maka projeck ini dimaknai oleh masyarakat adat/lokal sebagai projeck BAGI-BAGI UANG.
Selain skema REDD+ hal yang tidak kalah penting secepatnya disosialisasikan dimasyarakat adalah menyangkut hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat adat/lokal agar proses Free Prior Inform Consent (FPIC) bisa terlaksana dengan baik menuju pelaksanaan skema REDD+ di Provinsi Sulawesi Tengah.

Pokja REDD Provinsi Sulawesi Tengah.

1.      Pokja MRV                    : Rizal Mahfud
2.      Pokja DA                       : Andreas Lagimpu
3.      Pokja STRADA             : Ferdy Lumba
4.      Pokja FPIC                    : Rukmini P. Toheke

Dengan terpilihnya 4 orang perwakilan masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam Pokja REDD (MRV, DA, STRADA, FPIC) yang nantinya dibentuk oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, maka kendala dan harapan dari masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam tahap penyiapan dan pelaksanaan skema REDD+ bisa tersalurkan melalui perwakilan masyarakat adat dan masyarakat lokal di Pokja ini.

15 December 2010

Dari Kearifan Tradisional Menuju Keserakahan Modern

Berita OPINI Koran Radar Sulteng tgl 15 Desember 2010 
Oleh : DR SUPRIN NA’A, SH. MA
(Dosen fakultas Hukum Universitas Tadulako dan ketua pusat studi hukum & Legislasi) 

Membahas masalah kearifan tradisi adalah bagaimana kita mampu mengadaptasi, merefleksi dan merempati dengan keberadaan hukum-hukum tradisional, perilaku social, adat istiadat masyarakat tradisional yang masih kuat memelihara adat istiadatnya, baik secara hukum maupun dalam proses atau interaksi sosialnya. Masyarakat ini dalam pemahaman ilmiah tersebut gemeinschap, yakni suatu masyarakat yang masih terikat pada kuatnya keberatan dalam komunitasnya, baik bersifat torotorial atau sebagai tempat (wilayah) kelahirannya mampu bersifat genealogis yang di dasarkan pada pertalian darah atau keturunan. Kedua jenis keberatan tradisional ini lah yang di kenal secarah teoritik sebagai struktur persekutuan hukum adat .        

Terkadang kearifan tradisional suatu masyarakat harus tergusur, baik melalui benturan dengan peradaban modern yang sangat kuat dan mempunyai daya dobrak yang dasyat, efektif, sistematis dan juga masif, juga dilakukan melalui pemaksaan atau otorisasi hukum positif ataupun formulisasi norma-noram hukum modern berdasarkan keinginan  para Negara atau para pembentuk peraturan perundang-undangan. Benturan terbeasr dari kekuatan hukum secara mutakhir adalah pemaksaan norma-norma peraturan daerah yang dibuat tidak aspiratif, tampa memperhatikan keberadaan dan hakikat kearifan tradisional masyarakat local. Perda cenderung hanya menjalankan peraturan perundanga-undangan diatasnya tanpa memperhatikan kondisi faktual masyarakat lokal yang seyogyanya lindungi oleh hukum (baca:perda.)
                                                                                                         
Kearifan tradisional telah menjadi momok pembangunan secara umum, dianggap sebagai penghambat kemajuan atau modernisasi menurut keinginan Negara, pemerintah. Identifikasi sebuah kemajuan dalam tartan formal adalah suatau kondisi yang modern suatu kondiai yang gaul, yang serba teknologi, mesin-mesin canggih segalah tetek-bengeknya. Orientasi berpikir yang keliru serperti ini sepantasnya diubah dengan cara pandang pluralisme hukum (the legal pluralism) yang mengakui dan melindungi hukum lokal dan sekaligus menghormati kearifan tradisionalnya yang sesungguhnya sangat bersahaja, tidak seraka serta sangat akrab linkungan. Sebagaimana yang tergambar dalam “Primitive Runaway”   

                                                  
KEARIFAN TRADISIONAL PRODUK HUKUM ADAT 

Adat merupakan pencerminan kepribadian suatu komunitas masyarakat. Lebih-lebih makro lagi sebagai kepribadian suatu bangsa dan sebagai penjelma jiwa bangsa (volkgeist). Saya berpendapat bahwa grundnorn (norma dasar) dalam system hukum & perundang-undangan (legislation and legal system) di Indonesia adalah adat atau hukum adat. Hukum adat harus menjadi sumber dari segala sumber hukum,termaksud sumber hukum dari semua peraturan di tingkat daerah (perda,pergub,perbub,perwali,termaksud perdes dan perkades).

Bukankah dalam pasal 5 UUPA telah ditegaskan bahwa hukum agrarian yang berlaku atas bumi,air dan ruang angkasa adalah hukum adat? Secara konstitusional juga diakui dalam pasal 18 B ayat (2) UUD 1945: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI …” . kemudian dipertegas dalam pasal 281 ayat (3) UUD 1945: identitas budaya dan hak masyarakat tradisional di hormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Menunjukan bahwa pengakuan atas masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya bukan hanya sekedar pemberian “Negara”,melainkan pula sudah menjadi bagian dari HAM (human right).

Dalam united nation declaration on the rights of indigenous peoples pada artikel 1: masyarakat adat berhak untuk menikmati secara penuh,kolektif,atau individual,keseluruhan Hak asasi manusia dan kebebasan fundamental…; kemudian artikel 20: masyarakat adat berhak mempertahankan dan mengembangkan system atau lembaga politik,ekonomi dan social mereka, agar merasa aman dalam memanfaatkan alat-alat mereka sendiri untuk pemenuhan kebutuhan sendiri dan pengembangan,dan untuk melibatkan diri secara bebas dalam kegiatan tradisionalnya dan ekonomi mereka. Jadi pengakuan hukum internasional juga sudah sangat jelas secara normative tentang perlindungan dan pengakuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya dan segala kearifannya.

Hukum adat adalah hukum yang tidak dibuat oleh sebuah otoritas Negara beserta alat-alat kekuasaanya secara formal (unstatutory law), sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat, diakui, dihormati dan ditaati secara efektif oleh masyarakat sehingga dapat membentuk karakter kebersahajaan masyarakat tradisionil. Ini menunjukan bahwa kearifan tradisionil merupakan post factum dari hukum adat. Hukum adat memiliki corak sebagai berikut: pertama, menpunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat. Artinya manusia menurut hukum adat merupakan mahluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan ini meliputi seluruh lapangan hukum adat.

Kedua, mempunyai corak relogio-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia seperti, balaa’,malapetaka, masolora (kaili), muliwu(saluan), kampunangan, dll. Ketiga hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnyan perhubungan-perhubungan hidup yang konflik keempat, hukum adat mempunyai sifat fisual, artinya perhubungan hukum dianggap terjadi apabila dititapkan dengan suatu ikatan yang adapat dilihat, misalnya “pemberian” sebagai penegasan (bevestiging) suatu prtunangan.                                                                       

Corak ataupun subtansi hukum adat inilah yang kemudian secara turun temurun dipatuhi masyarakat lokal yang dikenal dengan istilah indigenous people (masyarakat pribumi atau masyarakat asli) yang tercermin pada kebersahajaan kearifannya. Kearifan masyarakat adat yang disandarkan pada hukum adat ini harus menjadi “benteng” yang tangguh dalam menghadapi keserakahan modern. Keserakahan modern beserta segalah “penyakit” ikutannya akan dapat dihindari apabila kearifan tradisional diakui, dilindungi dan diperdayakan.

PERSPEKTIF SULAWESI TENGAH 

Komunitas masyarakat adat diwilayah Sulawesi tengah secara riil masih ada, seperti masyarakat tau ta’a dikabupaten Tojo una-una, kabupaten banggai dan kabupaten worowali melalui kekerabatan herois dibawah pimpinan seseorang telenga’. Begitu juga masyarakat kulawi, sigi dan pipikoro sub etnik yang menggunakan bahasa ‘Ija, Moma dan oma dikabupaten sigi juga masih kuat intensitas norma hukum adat.tercatat dalam sejarah seperti yang tertulis dalam “van Poso naar Parigi, Sigi en Lindoe” hasil investigasi dan renungan N. Adrian dan Albert C. kruyt (1898) menyebutkan, bahwa orang-orang sigi itu ramah tamah dan bijaksana (scherpzinning), terutama ketika berada di Bora (Ibukota kerajaan sigi). Orang-orang sigi belum tersentuh oleh tabiat pedagang. Meskipun peradaban yang lebih maju lainnya sudah ada, namun mereka masih kuat memeganng teguh adat istiadat mereka,seperti “Baliya” dalam rangka upacara penyembuhan orang sakit (wurake).            

Masyakat adat di Sulawesi membutuhkan pengakuan perlindungan dalam bentuk peraturan daerah. Akan tetapi bukan berarti stiap perda yang di Sulawesi tengah yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan masyarajat adat itu mengatur secara rinci semua norma-norma hukum adat. Perda dimaksud hanya bermateri muatan (hetonderwerp) pengakuan dan perlindungannya saja, khususnya meregulasi hubungan masayarakat adat dengan hutan, air dan lingkungan hidup, dengan tetap memoerhatikan norma-norma yang didelegasikan (delegatie van wetgevings). Sedangkan yang bersangkut paut dengan norma-norma teknis diserahkan pada masyarakat hukum adat itu sendiri yang mengapresiasinya melalui lembaga adat. Misalnya pelanggaran-pelanggaran norma adat yang dapat di Givu, dll. Semuanya harus di kembalikan pada konsepsiemic, yaitu mereka sendiri mempersiapkan hak dan tanggung jawab menurut hukum adat masing-masing komunitas.                                                       

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 perihal kehutanan ditegaskan bahwa masyarakat hukukm adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya berhak: pertama, melakukan pemugutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup seharai-hari masyarakat adat yang bersangkutan. Kedua, melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertetangan dengan undang-undang. Ketiga, mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejatraannya.

Dari ketiga hak tersebut, harus di kukuhkan melalui pembentukan perda tentang hutan adat. Yang ingin di tegaskan di sini adalah  betapa perda tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di wilayah Sulawesi tengah. Apabila tidak ada, maka hak-hak (akses) masyarakat tradisionil atas sumber daya alam menjadi hilang, padahal SDA secara subtansial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat adat yang notabene tradisional. Hal-hal tersebut merupakan refleksi dari gulatan kearifan tradisional dengan keserakahan modern, yang selama ini masih dalam episode termagirnalkan dan masih menjadi fragment kehidupan tradisional masyarakat Indonesia yang pada umumnya tidak terlihat, namun dapat di rasakan. Kehidupan masyarakat modern yang dipe-back up oleh hukum modern yang di dasari oleh pemikiran-pemikiran rasional, logis dan sekaligus dapat di pelintir merupakan benteng yany kokoh dalam melegalisir dan memberikan legitimasi atas keserakahan-keserakahan berikutnya yang lebih mutakhir. Malei ra mabubu maputi buku ratinde kana kupomate ngataku.(*)

9 December 2010

Bupati Sigi, siap sahkan PERDA tentang masyarakat adat

Perjuangan masyarakat adat di Sulawesi Tengah untuk mendapatkan perlindungan hak-haknya mendapatkan titik pencerahan. Pemerintah Daerah Kabupaten Sigi saat ini berencana mengeluarkan sebuah Peraturan Daerah (PERDA) tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Rencana pembuatan PERDA ini, digulirkan dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Arah kebijakan pemerintah Kab. Sigi Terhadap perlindungan atas hak-hak masyarakat adat Sigi” yang diadakan di Ngata Toro, Kecamatan Kulawi pada 3 Desember 2010 yang lalu. Pemerintah Kabupaten Sigi mengadakan FGD ini untuk mendorong adanya pengakuan dan penghormatan terhadap adat dan budaya yang ada di masyarakat adat.

Bupati Sigi, Ir. Aswani Randalembah (tengah), memberikan sambutan dalam FGD


Hadir sebagai narasumber yaitu; Ir. Aswadin Randalembah (Bupati Kabupaten Sigi), Gesang Yuswono SE (DPRD), Agus Lamakarete SP, MES (Sekretaris BAPPEDA), dan Rizal Mahmud (Ketua PW AMAN Sulteng). Peserta dalam FGD ini terdiri dari kalangan Akademisi, Pemerintah (Kecamatan dan Desa), Bappeda dan Dewan Adat.

Bupati Kabupaten Sigi, mengungkapkan bahwa pengakuan dan penghormatan terhadap adat dan budaya adalah cita-cita luhur PEMDA. Hal senada, disampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Pemerintah menginginkan output dari FGD kali ini adalah sebuah PERDA tentang masyarakat adat.

Rizal Mahmud, Ketua Pengurus Wilayah AMAN Sulawesi Tengah, menyarankan agar PERDA yang akan dibuat hendaknya mengatur tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat secara menyeluruh. Tidak sebatas perlindungan terhadap budaya semata (tarian, pakaian adat) tapi juga menyangkut hak atas wilayah, kearifan lokal serta kelembagaan adat.

Memperkuat pernyataan diatas, DR Supri Na'a, SH. MH, Akademisi dari Universitas Tadulako, mengatakan bahwa Undang-undang Dasar (UUD) 45 sebagai landasan hukum dalam penegakan hak-hak masyarakat adat. Pasal 18B dan 28I sudah sangat kuat sebagai dasar pengesahan PERDA, bahkan Undang-undang tentang pengakuan dan perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat.

Mengacu pada definisi masyarakat adat yang di usung AMAN, ada empat (4) aspek yang harus masuk dalam PERDA yaitu; Sejarah (Asal-usul), Wilayah, Hukum dan Kelembagaan Adat. Rizal Mahmud juga menyampaikan pentingnya riset (iventarisasi dan dokumentasi) tentang masyarakat adat yang ada di 15 kecamatan di Kabupaten Sigi. Hal ini, untuk mendukung pembahasan PERDA supaya tidak “bias” terkait dengan definisi masyarakat adat. Baik secara suku, agama, ras dan kesetaraan gender.

Peserta FGD merespon positif atas rencana ini. Sebagai tindak lanjut, akan diadakan lokakarya pada tanggal 13 Desember 2010, membahas rancangan dan kegiatan untuk meloloskan PERDA ini.

2 December 2010

Sejarah Komunitas Adat Bada

Inilah sejarah adanya komunitas adat di Bada!!!
Pada mulanya di bada hanya ada 3 orang kakak beradik,yang pertama tinggal di bulili, yang ke dua di Gintu dan yang ke tiga tinggal di Runde.
ke tiga kakak beradik ini mulanya dari sepe silanca.dan di bada itu juga ada pendatang dari Besoa tapi karena mereka itu pintar dan sangat jenius dalam pengelolaan hutan maka mereka di usir ke bulu pointoa.
tapi karena mereka tidak habis akal,mereka menyuruh anak pertama mereka untuk pergi ke Badangkaia sebagai alat agar supaya masyrakat yang ada di Badangkaia kasian kepada anak ini.dan di berikanlah mereka tanah untuk mereka olah sendiri.

To be continue,,,

22 November 2010

Upacara Wunca Ada Pae di Ngata Toro

10 November 2010, Komunitas Adat Ngata Toro mengadakan upacara adat Wunca Ada Pae. Acara sakral ini dilakukan di Loboh, yaitu rumah adat dari komunitas Ngata Toro, Kecamatan Kulawi Kabuapaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Ibu Rukimini, sedang mendokumentasikan Wunca Ada Pae
Wunca Ada Pae merupakan upacara yang dilakukan setelah panen, sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang telah dihasilkan.
 
Hasil panen (makanan) digantung di bambu dan padi yang akan dijadikan bibit ditempatkan dibawah pohon bambu tersebut.

Setelah itu sang Ketua adat meniup terompet yang terbuat dari batang padi dan diikuti oleh tarian Rego yang ditarikan oleh pemuda-pemudi adat.Ngata Toro. 

Wunca Ada Pae  juga membacakan mantra-mantra yang dilakukan oleh Ketua adat yang bertujuan untuk penyelamatan tanah, air, udara dan sumber daya alam yang ada diwilayah adat Ngata Toro.